Monday, 8 May 2017

CERPEN: Surat Tanpa Tanda Tangan

Surat Tanpa Tanda Tangan


Oleh: Teduh Sukma Wijaya

Dari pinggir kaca nako, di antara
celah kain gorden, aku melihat
lelaki itu mondar-mandir di depan
rumah. Matanya berkali-kali
melihat ke rumah aku.Tangannya
yang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat di
keningnya. Dada aku berdebar
menyaksikannya. Apa maksud
remaja yang bisa jadi umurnya tak
jauh dengan anak sulung aku
yang baru kelas 2 SMU itu? Melihat
tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk
dengan keluarga aku? Mau
merampok? Bukankah sekarang ini
orang merampok tidak lagi
mengenal waktu? Siang hari saat
orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, seperti
yang banyak diberitakan koran.
Atau dia punya masalah dengan
Yudi, anak aku? Kenakalan remaja saat ini tidak
lagi enteng. Tawuran telah
menjadikan puluhan remaja
meninggal. Aku berdoa semoga
lamunan itu salah semua. Tapi
mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, aku mengunci seluruh
pintu dan jendela rumah. Di rumah
ini, pukul sepuluh pagi seperti ini,
aku hanya seorang diri. Kang
Yayan, suami aku, ke kantor. Yudi
sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia sudah
seminggu tidak masuk. Jadi kalau lelaki yang selalu
memperhatikan rumah aku itu
menodong, aku bisa apa? Pintu
pagar rumah memang terbuka.
Siapa saja bisa masuk. Tapi mengapa anak muda itu tidak
juga masuk? Tidakkah dia
menunggu sampai tidak ada orang
yang memergoki? Aku sedikit lega
saat anak muda itu berdiri di
samping tiang telepon. Aku punya pikiran lain. Mungkin dia sedang
menunggu seseorang, pacarnya,
temannya, adiknya, atau siapa
saja yang janjian untuk bertemu di
tiang telepon itu. Aku memang
tidak mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi dizaman ini,
dengan peristiwa-peristiwa buruk,
tenggang rasa yang semakin
menghilang, tidakkah rasa curiga
lebih baik daripada lengah? Aku masih tidak beranjak dari
persembunyian, di antara kain
gorden, di samping kaca nako.
Aku masih was-was karena anak
muda itu sesekali masih melihat ke
rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di
dunia ini yang tidak ada
jawabannya. Terlintas di pikiran aku untuk
menelepon tetangga. Tapi aku
takut jadi ramai. Bisa-bisa
penduduk se-kompleks mendatangi
anak muda itu. Iya kalau anak itu
ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang
memukul. Tiba-tiba anak muda itu
membalikkan badan dan masuk ke
halaman rumah. Debaran jantung
aku mengencang kembali. Aku
memang mengidap penyakit
jantung. Tekad aku untuk menelepon tetangga sudah bulat,
tapi kaki aku tidak bisa
melangkah. Apalagi begitu anak
muda itu mendekat, aku ingat,
aku pernah melihatnya dan punya
pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda itu tidak lama di teras
rumah. Dia hanya memasukkan
sesuatu ke celah di atas pintu dan
bergegas pergi. Aku masih belum
bisa mengambil benda itu karena
kaki aku masih lemas. * * * Aku pernah melihat anak muda
yang gelisah itu di jembatan
penyeberangan, entah seminggu
atau dua minggu yang lalu. Aku
pulang membeli bumbu kue waktu
itu. Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, aku ada yang
menabrak, aku hampir jatuh. Si
penabrak yang tidak lain adalah
anak muda yang gelisah dan
mondar-mandir di depan rumah itu,
meminta maaf dan bergegas mendahului aku. Aku jengkel,
apalagi begitu sampai di rumah
aku tahu dompet yang disimpan di
kantong plastik, disatukan dengan
bumbu kue, telah raib. Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan
si penabrak yang mencopet itu,
mengembalikan dompet aku lewat
celah di atas pintu. Setelah aku
periksa, uang tiga ratus ribu lebih,
cincin emas yang selalu aku simpan di dompet bila bepergian,
dan surat-surat penting, tidak ada
yang berkurang. Lama aku melihat dompet itu dan
melamun. Seperti dalam dongeng.
Seorang anak muda yang gelisah,
yang siapa pun aku pikir akan
mencurigainya, dalam situasi
perekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan uang
yang telah digenggamnya.
Bukankah itu ajaib, seperti dalam
dongeng. Atau hidup ini memang
tak lebih dari sebuah dongengan? Bersama dompet yang dimasukkan
ke kantong plastik hitam itu aku
menemukan surat yang dilipat
tidak rapi. Aku baca surat yang
berhari-hari kemudian tidak lepas
dari pikiran dan hati aku itu. Isinya seperti ini: "Ibu yang baik,
maafkan aku telah mengambil
dompet Ibu. Tadinya aku mau
mengembalikan dompet Ibu saja,
tapi aku tidak punya tempat
untuk mengadu, maka aku tulis surat ini, semoga Ibu mau
membacanya. Sudah tiga bulan
aku berhenti sekolah. Bapak aku
di-PHK dan tidak mampu membayar
uang SPP yang berbulan-bulan
sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi ongkos.
Karena kemampuan keluarga yang
minim itu aku berpikir tidak apa-
apa aku sekolah sampai kelas 2
STM saja. Tapi yang membuat aku
sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang
beredar sembunyi-sembunyi itu. Adik aku yang tiga orang,
semuanya keluar sekolah. Emak
berjualan goreng-gorengan yang
dititipkan di warung-warung. Adik-
adik aku membantu
mengantarkannya. Aku berjualan koran, membantu-bantu untuk beli
beras. Aku sadar, kalau keadaan seperti
ini, aku harus berjuang lebih
keras. Aku mau melakukannya.
Dari pagi sampai malam aku
bekerja. Tidak saja jualan koran,
aku juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil
hiburan) aku ngamen. Tapi uang
yang pas-pasan itu (Emak sering
gagal belajar menabung dan aku
maklum), masih juga diminta Bapak
untuk memasang judi kupon gelap. Bilangnya nanti juga diganti kalau
angka tebakannya tepat. Selama
ini belum pernah tebakan Bapak
tepat. Lagi pula Emak yang taat
beribadah itu tidak akan mau
menerima uang dari hasil judi, aku yakin itu. Ketika Bapak semakin sering
meminta uang kepada Emak,
kadang sambil marah-marah dan
memukul, aku tidak kuat untuk
diam. Aku mengusir Bapak. Dan
begitu Bapak memukul, aku membalasnya sampai Bapak
terjatuh-jatuh. Emak memarahi
aku sebagai anak laknat. Aku
sakit hati. Aku bingung. Mesti
bagaimana aku? Saat Emak sakit dan Bapak
semakin menjadi dengan judi
buntutnya, sakit hati aku semakin
menggumpal, tapi aku tidak tahu
sakit hati oleh siapa. Hanya untuk
membawa Emak ke dokter saja aku tidak sanggup. Bapak yang
semakin sering tidur entah di
mana, tidak perduli. Hampir aku
memukulnya lagi. Di jalan, saat aku jualan koran,
aku sering merasa punya dendam
yang besar tapi tidak tahu
dendam oleh siapa dan karena apa.
Emak tidak bisa ke dokter. Tapi
orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di
depan aku, sesekali bertelepon
dengan handphone. Dan di
seberang stopan itu, di warung
jajan bertingkat, orang-orang
mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan. Maka tekad aku, Emak harus ke
dokter. Karena dari jualan koran
tidak cukup, aku merencanakan
untuk mencopet. Berhari-hari aku
mengikuti bus kota, tapi aku
tidak pernah berani menggerayangi saku orang.
Keringat dingin malah membasahi
baju. Aku gagal jadi pencopet. Dan begitu aku melihat orang-
orang belanja di toko, aku melihat
Ibu memasukkan dompet ke
kantong plastik. Maka aku ikuti
Ibu. Di atas jembatan
penyeberangan, aku pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil
dompet. Aku gembira ketika
mendapatkan uang 300 ribu lebih. Aku segera mendatangi Emak dan
mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu,
Emak malah menatap aku tajam.
Dia menanyakan, dari mana aku
dapat uang. Aku sebenarnya ingin
mengatakan bahwa itu tabungan aku, atau meminjam dari teman.
Tapi aku tidak bisa berbohong.
Aku mengatakan sejujurnya,
Emak mengalihkan pandangannya
begitu aku selesai bercerita. Di pipi keriputnya mengalir butir-
butir air. Emak menangis. Ibu, tidak
pernah aku merasakan
kebingungan seperti ini. Aku ingin
berteriak. Sekeras-kerasnya.
Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya aku bisa
makan-makan, mabuk, hura-hura.
Tidak apa aku jadi pencuri. Tidak
perduli dengan Ibu, dengan orang-
orang yang kehilangan. Karena
orang-orang pun tidak perduli kepada aku. Tapi aku tidak bisa
melakukannya. Aku harus
mengembalikan dompet Ibu. Maaf." Surat tanpa tanda tangan itu
berulang kali aku baca. Berhari-
hari aku mencari-cari anak muda
yang bingung dan gelisah itu. Di
setiap stopan tempat puluhan
anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di
taman-taman. Tapi anak muda itu
tidak pernah kelihatan lagi.
Siapapun yang berada di stopan,
tidak mengenal anak muda itu
ketika aku menanyakannya. Lelah mencari, di bawah pohon
rindang, aku membaca dan
membaca lagi surat dari pencopet
itu. Surat sederhana itu membuat
aku tidak tenang. Ada sesuatu
yang mempengaruhi pikiran dan perasaan aku. Aku tidak lagi
silau dengan segala kemewahan....

0 comments:

Post a Comment