Sahabat Kecilku
Oleh: Fitriana Dwi Nursanti
Lapangan hijau yang ramai itu mulai
terlihat sepi ketika tanpa kusadari langitpun sudah tampak kemerahan di atas
sana. Aku sedang duduk termenung di pinggir lapangan itu setelah lelah bermain
layang-layang. Aku teringat pada Febri, sahabat baikku.
Aku dan
Febri adalah sahabat dan teman sejak kecil. Rumah kami berdekatan dan kami
selalu bersama-sama dari kecil. Aku dilahirkan pada tanggal, bulan dan tahun
yang sama dengan Febri yaitu, Selasa 27 Februari 1996. Namaku Febriani
Ayuningsih dan dia bernama Febrianto Lasmawan. Nama kami sama yaitu Febri,
alasannya mungkin karena kami sama-sama terlahir pada bulan Februari. Karena
sama, jadi untuk memudahkan agar tidak tertukar, aku lebih sering di panggil
Ayu.
Ketika
kami sudah mulai besar dan bisa bermain, aku dan Febri selalu bermain bersama
setiap hari dengan teman-teman sebaya kami. Kami berlari kejar-kejaran,
berlarian kesana kemari dan tertawa riang gembira sepanjang hari. Bukan hanya
itu kami juga bermain petak umpet, dan pemainan_permainan lain yang bisa di
mainkan oleh anak-anak seusia kami. Bahkan ketika hujanpun kami suka bermain
sambil hujan-hujanan walaupun kami tahu akan di marahi oleh orang tua kami
tentunya. Tapi mungkin memang seperti inilah gambaran masa kecil anak-anak yang
bahagia dalam masa pertumbuhannya. Lalu pada saat kami sudah berumur 6 tahun
dan cukup untuk mulai sekolah, kamipun disekolahkan oleh orang tua kami di
Taman Kanak-kanak (TK) selama satu tahun. Di Taman Kanak-kanak ini kami di
perkenalkan dengan angka-angka dan huruf untuk mulai belajar menulis dan
membaca. Kami lebih banyak bermain karena memang namanya saja Taman
Kanak-kanak. Lalu setelah lulus dari TK, kami melanjutkan sekolah di Sekolah
Dasar (SD) selama 6 tahun. Selama itu kami selalu bermain dengan permainan yang
sama, permainan anak_anak kecil seusia kami. Permainan dan kebiasaan yang kami
sukai adalah bermain layang-layang setiap sore. Kami bermain sampai lelah dan
puas.
Waktu
terasa begitu cepat berlalu, aku dan Febri lulus dari SD dan kemudian
melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama(SMP) dan pada sekolah yang sama.
Peralihan dari SD ke SMP yaitu dari kanak-kanak menuju remaja, nampaknya tidak
terlalu memberikan perubahan yang berarti. Kami masih seperti anak kecil yang
suka bermain. Hanya saja ketika kami sudah duduk di kelas 3 SMP, kami mulai
menjadi anak remaja, tidak seperti sebelumnya. Karena saat itu kami sedang akan
mengikuti Ujian Nasional (UN). Kami menjadi lebih sering belajar bersama dengan
teman-teman yang lainnya juga dan mengurangi waktu bermain demi kelulusan kami.
Berkat usaha keras dan juga doa ,kami akhirnya lulus dengan nilai yang
memuaskan.
Kemudian
aku melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA), begitu pula dengan Febri. Aku
dan Febri bersekolah di tempat yang sama lagi. Setelah mendaftar dan diterima,
kami mengikuti segala kegiatan untuk awal masuk sekolah, seperti MOPDB (Masa
Orientasi Peserta Didik Baru) dan MPP (Masa Penghayatan Penggalang) selama 1
minggu pada minggu pertama masuk SMA. Dalam persiapan mengikuti
kegiatan-kegiatan tersebut, aku mempersiapkan segala perlengkapan bersama
Febri. Seiring waktu berlalu, kegiatan-kegiatan itupun selesai. Rasanya begitu
senang telah melewati semua kegiatan yang melelahkan itu. Pada minggu
berikutnya kami mulai mengenakan seragam SMA dan berangkat ke sekolah bersama
dengan menaiki sepeda motor. Sesampainya di sekolah kami menuju kelas
masing-masing karena kelas kami berbeda. Aku di kelas X-F dan Febri di kelas
X-G. Walaupun demikian, tidaklah mengapa karena kelas kami bersebelahan. Di
kelas baruku, akupun berkenalan dengan teman-teman sekelasku. Aku duduk
sebangku dengan perempuan bernama Rahma. Rahma anak yang baik dan ramah, dia
juga nyambung denganku jika ku ajak berbicara.
Waktu
menunjukkan pukul 13.45, teettt…teettt…teettt, terdengar bel tanda pulang telah
berbunyi. Aku segera mengemasi barang-barangku dan segera keluar dari kelas
bersama Rahma untuk bergegas pulang. Di depan kelas Febri sudah menungguku
untuk pulang bersama. Lalu terlebih dahulu aku mengenalkan Rahma dengan Febri,
begitu pula sebaliknya. Setelah berkenalan kami bertiga berjalan bersama menuju
tempat parkir, dan sedikit berbincang dalam perjalanan. Setelah sampai di
parkiran kamipun berpisah. Aku dengan Febri sedangkan Rahma pulang sendiri.
Setelah sampai di rumahku, Febri mampir sebentar dan ibuku telah menyambut
kedatangan kami berdua dengan ramah seperti biasanya. Kemudian aku dan Febri
mengobrol dan saling menceritakan apa saja yang terjadi pada saat tadi di
sekolah. Sesekali kami bercanda dan saling tertawa untuk membuat kami lebih
rileks. Ketika waktu semakin sore, Febri pun berpamitan untuk pulang.
Aku
merasa bahagia dengan kebersamaan kami ini. Aku selalu berharap akan selalu
merasakan hal ini dan aku tidak ingin kehilangan orang-orang yang selama ini
ada di dekatku dan selalu membuatku tersenyum setiap hari. Aku menyayangi
mereka semua.
Hingga
pada suatu hari, tiba-tiba Febri dan keluarganya memutuskan akan pindah ke Luar
Negeri karena pekerjaan ayahnya. Ketika Febri mengatakan hal itu, bumi seolah
berhenti berputar dan aku hanya bisa terpaku di hadapannya. Aku sangat terkejut
mendengarnya hingga tak mampu mengatakan apapun. Ketika aku mulai sadar, akupun
menangis. Menangis karena aku akan kehilangan sahabatku sejak kecil yang sangat
ku sayangi ini. Menangis karena aku tak akan bisa lagi bertemu dengannya lagi
setiap hari. Menangis karena aku tak akan bisa bermain layang-layang lagi
bersamanya tiap sore. Menangis karena akan banyak hal yang hilang dari hidupku
dan akan megubah segalanya. Pikiranku kacau dan entah kemana. Terlalu banyak
hal yang ku takutkan. Bahkan aku tak mampu melihat dan menatap mata Febri,
karena aku tak mau itu menjadi akhir persahabatan kami. Tangisku semakin
menjadi dan Febri berusaha untuk terus menenangkanku.
Akhirnya
hari itupun tiba. Hari dimana Febri dan keluarganya akan berangkat menuju
Bandara dan pindah rumah dalam jangka waktu yang cukup lama. Sebelum berangkat,
mereka terlebih dahulu mampir kerumahku untuk berpamitan. Namun aku tak kuasa
untuk melihat dan mengantar kepergiannya. Febri dan keluarganya tidak tega
melihatku seperti itu. Kemudian Febri mengajakku untuk pergi ke lapangan,
tempat biasa kami jika bermain. Febri menghiburku dengan mengajakku bermain
layang-layang. Akupun lalu berpikir, aku tak mungkin memaksa Febri tetap
tinggal. Febri juga memiliki kehidupannya sendiri, ia berhak pergi. Aku tak
boleh menyia-nyiakan waktuku yang tidak banyak ini. Akhirnya akupun sedikit
tenang dan mengikuti ajakan Febri. Kami bermain layang-layang sepuasnya hingga
sore dan saling tertawa bersama. Setelah lelah aku dan Febri duduk di pinggir
lapangan itu dan saling terdiam. Kami sadar ini mungkin adalah waktu kami
bermain bersama yang terakhir. Entah kapan lagi kami akan bertemu pada
saat-saat indah seperti ini. Bermain dan tertawa, itu hal yang sangat
menyenangkan bagi kami. Aku percaya satu hal bahwa tidak ada yang tidak mungkin
jika Tuhan berkehendak, namun kepergian Febri dan keluarganya itu tak bisa di
cegah. Aku memutuskan untuk merelakan mereka pergi dan aku yakin suatu saat
akan bertemu dengan Febri lagi.
Lamunanku
buyar ketika ibu memanggilku untuk segera pulang karena hari telah petang.
Akupun segera beranjak dari tempatku duduk dan pulang bersama ibuku. Dalam hati
aku berharap akan bertemu Febri suatu hari nanti disini
0 comments:
Post a Comment