Monday, 8 May 2017

CERPEN: Sahabat Kecilku

Sahabat Kecilku

Oleh: Fitriana Dwi Nursanti

Lapangan hijau yang ramai itu mulai terlihat sepi ketika tanpa kusadari langitpun sudah tampak kemerahan di atas sana. Aku sedang duduk termenung di pinggir lapangan itu setelah lelah bermain layang-layang. Aku teringat pada Febri, sahabat baikku.
Aku dan Febri adalah sahabat dan teman sejak kecil. Rumah kami berdekatan dan kami selalu bersama-sama dari kecil. Aku dilahirkan pada tanggal, bulan dan tahun yang sama dengan Febri yaitu, Selasa 27 Februari 1996. Namaku Febriani Ayuningsih dan dia bernama Febrianto Lasmawan. Nama kami sama yaitu Febri, alasannya mungkin karena kami sama-sama terlahir pada bulan Februari. Karena sama, jadi untuk memudahkan agar tidak tertukar, aku lebih sering di panggil Ayu.
Ketika kami sudah mulai besar dan bisa bermain, aku dan Febri selalu bermain bersama setiap hari dengan teman-teman sebaya kami. Kami berlari kejar-kejaran, berlarian kesana kemari dan tertawa riang gembira sepanjang hari. Bukan hanya itu kami juga bermain petak umpet, dan pemainan_permainan lain yang bisa di mainkan oleh anak-anak seusia kami. Bahkan ketika hujanpun kami suka bermain sambil hujan-hujanan walaupun kami tahu akan di marahi oleh orang tua kami tentunya. Tapi mungkin memang seperti inilah gambaran masa kecil anak-anak yang bahagia dalam masa pertumbuhannya. Lalu pada saat kami sudah berumur 6 tahun dan cukup untuk mulai sekolah, kamipun disekolahkan oleh orang tua kami di Taman Kanak-kanak (TK) selama satu tahun. Di Taman Kanak-kanak ini kami di perkenalkan dengan angka-angka dan huruf untuk mulai belajar menulis dan membaca. Kami lebih banyak bermain karena memang namanya saja Taman Kanak-kanak. Lalu setelah lulus dari TK, kami melanjutkan sekolah di Sekolah Dasar (SD) selama 6 tahun. Selama itu kami selalu bermain dengan permainan yang sama, permainan anak_anak kecil seusia kami. Permainan dan kebiasaan yang kami sukai adalah bermain layang-layang setiap sore. Kami bermain sampai lelah dan puas.
Waktu terasa begitu cepat berlalu, aku dan Febri lulus dari SD dan kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama(SMP) dan pada sekolah yang sama. Peralihan dari SD ke SMP yaitu dari kanak-kanak menuju remaja, nampaknya tidak terlalu memberikan perubahan yang berarti. Kami masih seperti anak kecil yang suka bermain. Hanya saja ketika kami sudah duduk di kelas 3 SMP, kami mulai menjadi anak remaja, tidak seperti sebelumnya. Karena saat itu kami sedang akan mengikuti Ujian Nasional (UN). Kami menjadi lebih sering belajar bersama dengan teman-teman yang lainnya juga dan mengurangi waktu bermain demi kelulusan kami. Berkat usaha keras dan juga doa ,kami akhirnya lulus dengan nilai yang memuaskan.
Kemudian aku melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA), begitu pula dengan Febri. Aku dan Febri bersekolah di tempat yang sama lagi. Setelah mendaftar dan diterima, kami mengikuti segala kegiatan untuk awal masuk sekolah, seperti MOPDB (Masa Orientasi Peserta Didik Baru) dan MPP (Masa Penghayatan Penggalang) selama 1 minggu pada minggu pertama masuk SMA. Dalam persiapan mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut, aku mempersiapkan segala perlengkapan bersama Febri. Seiring waktu berlalu, kegiatan-kegiatan itupun selesai. Rasanya begitu senang telah melewati semua kegiatan yang melelahkan itu. Pada minggu berikutnya kami mulai mengenakan seragam SMA dan berangkat ke sekolah bersama dengan menaiki sepeda motor. Sesampainya di sekolah kami menuju kelas masing-masing karena kelas kami berbeda. Aku di kelas X-F dan Febri di kelas X-G. Walaupun demikian, tidaklah mengapa karena kelas kami bersebelahan. Di kelas baruku, akupun berkenalan dengan teman-teman sekelasku. Aku duduk sebangku dengan perempuan bernama Rahma. Rahma anak yang baik dan ramah, dia juga nyambung denganku jika ku ajak berbicara.
Waktu menunjukkan pukul 13.45, teettt…teettt…teettt, terdengar bel tanda pulang telah berbunyi. Aku segera mengemasi barang-barangku dan segera keluar dari kelas bersama Rahma untuk bergegas pulang. Di depan kelas Febri sudah menungguku untuk pulang bersama. Lalu terlebih dahulu aku mengenalkan Rahma dengan Febri, begitu pula sebaliknya. Setelah berkenalan kami bertiga berjalan bersama menuju tempat parkir, dan sedikit berbincang dalam perjalanan. Setelah sampai di parkiran kamipun berpisah. Aku dengan Febri sedangkan Rahma pulang sendiri. Setelah sampai di rumahku, Febri mampir sebentar dan ibuku telah menyambut kedatangan kami berdua dengan ramah seperti biasanya. Kemudian aku dan Febri mengobrol dan saling menceritakan apa saja yang terjadi pada saat tadi di sekolah. Sesekali kami bercanda dan saling tertawa untuk membuat kami lebih rileks. Ketika waktu semakin sore, Febri pun berpamitan untuk pulang.
Aku merasa bahagia dengan kebersamaan kami ini. Aku selalu berharap akan selalu merasakan hal ini dan aku tidak ingin kehilangan orang-orang yang selama ini ada di dekatku dan selalu membuatku tersenyum setiap hari. Aku menyayangi mereka semua.
Hingga pada suatu hari, tiba-tiba Febri dan keluarganya memutuskan akan pindah ke Luar Negeri karena pekerjaan ayahnya. Ketika Febri mengatakan hal itu, bumi seolah berhenti berputar dan aku hanya bisa terpaku di hadapannya. Aku sangat terkejut mendengarnya hingga tak mampu mengatakan apapun. Ketika aku mulai sadar, akupun menangis. Menangis karena aku akan kehilangan sahabatku sejak kecil yang sangat ku sayangi ini. Menangis karena aku tak akan bisa lagi bertemu dengannya lagi setiap hari. Menangis karena aku tak akan bisa bermain layang-layang lagi bersamanya tiap sore. Menangis karena akan banyak hal yang hilang dari hidupku dan akan megubah segalanya. Pikiranku kacau dan entah kemana. Terlalu banyak hal yang ku takutkan. Bahkan aku tak mampu melihat dan menatap mata Febri, karena aku tak mau itu menjadi akhir persahabatan kami. Tangisku semakin menjadi dan Febri berusaha untuk terus menenangkanku.
Akhirnya hari itupun tiba. Hari dimana Febri dan keluarganya akan berangkat menuju Bandara dan pindah rumah dalam jangka waktu yang cukup lama. Sebelum berangkat, mereka terlebih dahulu mampir kerumahku untuk berpamitan. Namun aku tak kuasa untuk melihat dan mengantar kepergiannya. Febri dan keluarganya tidak tega melihatku seperti itu. Kemudian Febri mengajakku untuk pergi ke lapangan, tempat biasa kami jika bermain. Febri menghiburku dengan mengajakku bermain layang-layang. Akupun lalu berpikir, aku tak mungkin memaksa Febri tetap tinggal. Febri juga memiliki kehidupannya sendiri, ia berhak pergi. Aku tak boleh menyia-nyiakan waktuku yang tidak banyak ini. Akhirnya akupun sedikit tenang dan mengikuti ajakan Febri. Kami bermain layang-layang sepuasnya hingga sore dan saling tertawa bersama. Setelah lelah aku dan Febri duduk di pinggir lapangan itu dan saling terdiam. Kami sadar ini mungkin adalah waktu kami bermain bersama yang terakhir. Entah kapan lagi kami akan bertemu pada saat-saat indah seperti ini. Bermain dan tertawa, itu hal yang sangat menyenangkan bagi kami. Aku percaya satu hal bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan berkehendak, namun kepergian Febri dan keluarganya itu tak bisa di cegah. Aku memutuskan untuk merelakan mereka pergi dan aku yakin suatu saat akan bertemu dengan Febri lagi.
Lamunanku buyar ketika ibu memanggilku untuk segera pulang karena hari telah petang. Akupun segera beranjak dari tempatku duduk dan pulang bersama ibuku. Dalam hati aku berharap akan bertemu Febri suatu hari nanti disini

0 comments:

Post a Comment