Oleh: Joshua Ivan Hoetomo
“Amanda,
Amanda, tunggu aku sebentar”.
Sekolah
baru saja usai, Amanda sedang berjalan pulang ketika mendengar suara seseorang
memanggilnya. Dia menoleh ke belakang. Terlihat Nisa berlari mengejarnya dengan
tergopoh-gopoh.
“Ada
apa Nisa?”, tanya Amanda keheranan.
“Begini,
aku mau mengembalikan ini”, kata Nisa sambil mengangsurkan sebuah tas plastik
kepada Amanda.
Amanda,
melihat isi tas plastik tersebut, lalu bertanya, “Lho, kenapa dikembalikan,
kamu tidak suka sepatu ini ya?”
“Tidak,
ee..., maksudku, aku suka sepatu itu.”
“Lantas
mengapa sepatu ini kamu kembalikan kepadaku, apakah kamu tidak memerlukannya?”,
tanya Amanda menyelidik.
“Sebenarnya
aku sangat memerlukan sepatu itu, tapi....”, suara Nisa terhenti, dia ragu-ragu
untuk meneruskannya.
“Tapi
apa Nisa?”, tanya Amanda lagi.
Nisa
teringat dengan kejadian kemarin. Ketika itu, dia baru saja pulang dari
sekolah. Saat masuk rumah, segera ditemuinya Ibunya yang sedang memasak di
dapur.
“Bu…Bu…
lihat”, katanya sambil berjingkat-jingkat penuh kegirangan.
Ibunya
menengok sebentar ke arah Nisa, kemudian kembali sibuk mengaduk-aduk masakannya
di panci, “Lihat apanya?”
“Lihat
ini dong Bu, bagus sekali kan”, kata Nisa sambil mengangkat kaki kirinya,
menunjukkan sepatu baru yang sedang dipakainya.
Ibunya
menengok sekali lagi sambil berkata, “Iya, bagus sekali sepatu yang kau pakai.
Omong-omong, sepatu itu pinjam dari siapa?”
“Ah
Ibu, ini sepatu milikku”, kata Nisa dengan nada gembira.
“O
begitu. Lho, jadi kamu sudah membuka tabunganmu ya. Memangnya sudah terkumpul
banyak uang tabunganmu?”, tanya ibunya.
“Tidak,
uang tabunganku masih utuh di dalam celengan. Sepatu ini aku dapat dari Amanda.
Dia yang memberikannya untukku”
“Ah
masak sih, kok bisa begitu?”, tanya ibunya tidak percaya. “Ingat, kamu jangan
suka meminta-minta lho pada teman-temanmu”, lanjutnya.
“Tentu
tidak dong Bu”, sergah Nisa, “ceritanya begini: kebetulan Amanda membeli sepatu
baru minggu lalu, tapi ternyata sepatu itu kebesaran sedikit. Karena itu Amanda
menawarkannya kepadaku. Lantas aku coba, kok pas sekali untukku. Lalu Amanda
memberikannya untukku”.
“Wah
beruntung sekali kamu Nisa. Apakah ayah dan ibu Amanda mengetahuinya?”, tanya
ibu Nisa.
“Tentu
saja Bu. Mana berani Amanda memberikannya tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Mereka baik sekali ya Bu”, kata Nisa.
“Iya.
Tapi aku yakin Bapakmu tidak akan suka”, kata ibu Nisa sambil tetap memasak.
“Tidak
mungkin dong Bu”, kata Amanda yakin, “Bapak pasti juga akan gembira”.
“Tunggu
saja kalau Bapak pulang nanti”, wanti-wanti ibunya.
Benar.
Ketika ayahnya pulang ke rumah setelah seharian mengemudi becak, Nisa langsung
menyambutnya dengan memamerkan sepatu barunya. Tapi jawaban ayahnya seperti
perkiraan ibunya tadi.
“Apa?
Kau diberi sesuatu lagi oleh temanmu. Cepat kembalikan. Kita sudah menerima
pemberian terlalu banyak dari mereka Nisa. Dulu tas dan peralatan
tulis-menulis. Bulan lalu seragammu juga diberi oleh ayah Amanda serta uang
sekolahmu dilunasinya ketika Bapak tidak punya uang. Sudah tidak terhitung lagi
pemberian mereka kepada kita”
“Tapi
Pak, Amanda memberikannya dengan ikhlas kepadaku”, kata Nisa membela diri.
“Betul.
Bapak tidak menyangkal ketulusan hati mereka. Tapi ini sudah terlalu banyak.
Mereka selalu membantu kita, tapi apa yang bisa kita berikan kepada mereka?
Tidak ada”, kata ayah Nisa dengan sedih.
“Mereka
tidak mengharapkan balasan dari kita Pak”, kata Nisa mencoba meyakinkan
ayahnya.
“Tidak.
Pokoknya sepatu tersebut harus dikembalikan segera”, jawab ayah Nisa dengan
tegas. “Dan jangan menerima lagi pemberian mereka. Keluarga Pak Ahmad memang
baik sekali, tetapi kita tidak bisa terus-menerus menerima bantuan dari mereka
tanpa kita bisa membalasnya. Apa yang bisa kita berikan kepada mereka, mereka
itu kaya sekali dan tidak memerlukan sesuatu dari kita yang miskin ini”.
“Tapi
Pak…”, Nisa mencoba menawar.
“Tidak
ada tetapi, ini sudah menjadi keputusan Bapak. Sepatu itu sudah harus
dikembalikan besok”.
“Ya
Pak’, kata Nisa menyerah.
Amanda
memandang wajah Nisa yang sedih ketika menceritakan alasannya mengembalikan
sepatu pemberiannya tersebut.
“Ya
sudah, nggak usah sedih. Bagaimana kalau sepatu ini tetap kamu simpan saja,
tidak usah bilang ayahmu”, kata Amanda menghibur.
“Tidak
bisa. Aku sudah janji pada Bapak untuk mengembalikan sepatu ini”, kata Nisa.
“OK.
Aku simpankan dulu ya sepatu ini, nanti jika ayahmu sudah tidak marah lagi,
kamu boleh mengambilnya lagi”
“Baiklah
Amanda, kamu baik sekali. Kamu memang sahabatku yang sejati”, kata Nisa sambil
memeluk sahabat karibnya itu.
Keesokan
harinya, Amanda tidak masuk sekolah. Nisa mencari-cari ke manapun di sekolah
tapi Nisa tetap tidak tampak juga. Pada jam pelajaran ketiga Pak Guru memberi
pengumuman kepada murid-murid sekelas Nisa:
“Anak-anak,
ada kabar buruk. Pak Ahmad, ayah Amanda mengalami kecelakaan mobil pagi tadi.
Beliau terluka parah dan sekarang berada di rumah sakit memerlukan darah yang
cukup banyak. Bapak akan segera meminta guru-guru untuk mendonorkan darah bagi
Pak Ahmad. Kalian dibolehkan pulang lebih awal.”
Anak-anak
segera berebut keluar kelas untuk pulang. Nisa juga segera keluar ruangan dan
berlari menuju ke tempat ayahnya biasa mangkal. Terlihat ayahnya masih duduk di
atas becaknya menunggu calon penumpang. Nisa bergegas menemuinya dan
menceritakan pengumuman Pak Guru tadi.
Mereka
berdua segera menuju ke rumah sakit dan menuju ke ruang gawat darurat di mana
ayah Amanda dirawat. Setelah ayah Nisa menjelaskan maksud kedatangannya,
seorang kerabat Pak Ahmad menunjukkan jalan ke ruang PMI untuk donor darah.
Setelah darahnya diambil, terlihat para guru sekolah Amanda berdatangan dan
sebagian mendonorkan darahnya. Berkat sumbangan darah dari ayah Nisa dan para
guru, kondisi Pak Ahmad segera membaik.
“Terima
kasih banyak, Pak Arif”, kata Pak Ahmad pada saat menengok Pak Ahmad di rumah
sakit. “Berkat bantuan Pak Arif, saya bisa pulih kembali seperti sediakala”.
“Ah
tidak Pak, itu memang sudah kewajiban saya untuk membantu sesama. Apalagi kan
selama ini keluarga Pak Ahmad sudah sangat sering membantu kami, tanpa kami
mampu membalasnya”, kata ayah Nisa.
“Pak
Arif tidak perlu memikirkan untuk membalasnya. Kami melakukan semuanya selama
ini dengan ikhlas. Nisa kan teman Amanda yang paling akrab dan sering membantu
Amanda dalam belajar dan mengerjakan tugas-tugasnya. Saya kira itu sudah cukup.
Karena itu terima kasih Pak Arif telah menyelamatkan nyawa saya”, kata ayah
Amanda sambil tersenyum.
“Sama-sama
Pak, kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan yang tak
terhitungkan selama ini”, kata Pak Arif.
Nisa
dan Amanda saling berpandangan dengan gembira mendengar percakapan kedua orang
tua mereka.
“Kalau
begitu, boleh kan saya memberikan sepatu saya kepada Nisa”, tanya Amanda.
“Tentu
saja, tentu saja Amanda. Begitu kan Pak Arif. Ini sebagai ungkapan terima kasih
kami”, kata ayah Amanda cepat-cepat.
“Baiklah”,
jawab ayah Nisa tidak mampu menolaknya.
“Horeeeeeeeeee”,
teriak Amanda dan Nisa bersama-sama sambil melompat-lompat gembira.
“Ha….ha….ha….”,
ayah ibu Amanda dan Nisa tertawa berderai melihat kelakuan kedua anak itu.
0 comments:
Post a Comment