HUJAN DI ATAS CIUMAN
Tato
Sekarang
sudah memasuki musim penghujan. Biasanya setiap hari langit akan berwarna
abu-abu lalu memuntahkan biji-biji air. Jalanan akan basah, banjir, dan macet
terjadi di mana-mana. Aku tidak mengerti kenapa Lin begitu tergila-gila pada sebuah
musim yang hanya bisa menjanjikan basah, pikirku sambil memandang kanvas besar
di hadapanku.
Aku
merasa kanvas besar ini lebih menarik dari pada abu-abu yang tergantung di
langit. Abu-abu ? Hei, mendadak aku merasa perlu untuk menyakinkan kalau langit
memang sedang berwarna abu-abu. Aku melemparkan pandangan keluar jendela dan
ternyata langit memang sedang abu-abu. Tiba-tiba aku teringat sekujur novel Lin
yang terbaru. Ciuman di Bawah Hujan, judulnya. Cukup menarik tetapi kenapa begitu
abu-abu ?
Lin
Aku
mempercepat laju motorku. Angin menabrak dadaku. Aku mengetatkan geraham
menahan rasa yang asing. Bukan rasa gigil. Tetapi dadaku seakan terbakar sampai
bolong. Padahal aku tidak merokok. Mungkin panaslah yang akan kita rasakan jika
terlalu kedinginan. Misalnya, seperti saat kita menggenggam es batu.
Sementara
itu wajah langit tampak semakin murung. Aku yakin sebentar lagi pasti turun
hujan. Ternyata benar. Mulai ada yang menimpaku setitik demi setitik. Motor pun
semakin kupacu. Aku tidak mau basah kuyup di jalanan. Terbayang secangkir teh
sepat panas di studio lukis Tato. Pasti hangatnya melegakan dada. Aku pun
membayangkan diriku sedang flu kemudian seseorang mengosokkan balsam ke dadaku.
Seseorang yang menurut Tato terlalu abu-abu: Rafi.
Tato
Bulan
sudah menyembul. Tetapi tidak lama karena jarum-jarum perak telah dicucurkan
langit. Curahnya rapat sampai tampak seperti tirai yang selalu patah bila
disibakkan.
Aneh,
Lin belum datang juga. Padahal Lin paling tidak suka dengan kebiasaan jam
karet. Aku sudah tidak sabar hendak menunjukkan lukisanku padanya.
”Merah?!”
seru Lin ketika kuceritakan lukisanku berwarna merah. ”Apakah kau tidak
mempunyai pilihan warna lain? Karena aku sudah terlalu akrab dengan merah.
Tiang-tiang di kelenteng, tubuh naga, ikan koi, bunga peony, baju baru ketika
perayaan Imlek, angpau, lampion, semua itu merah…” Suaranya terdengar
mengambang.
”Tetapi
ini merah yang lain, Lin.”
Aku
memang tidak melukis semua yang disebut Lin. Tidak ada tiang-tiang kelenteng, tubuh
naga, baju merah, angpau atau lampion di atas kanvasku. Yang ada hanya merah.
Aku mengambil kuas dan menambahkan merahnya. Aku masih menunggu Lin.
Lin
Tato
pasti sedang menungguku. Semoga saja ia tidak kesal karena keterlambatanku. Aku
sedang mengalami sedikit masalah di jalan. Hujan membuat jalanan terlalu licin
untuk diriku yang sedang ditunggu. Dan entah ke mana sinar bulan. Ups, motorku…
Kemarin
Tato memberi tahu tentang lukisannya yang hampir selesai. Lukisan merah yang
disiapkannya untuk kami. Maksudku, lukisan merah itu disiapkan Tato untuk
pameran lukisannya sekaligus terinspirasi dari novel terbaruku yang berjudul Ciuman di Bawah Hujan.
Tetapi
kenapa harus merah?
”Aku
ingin warna lain,” cetusku.
”Abu-abu?”
tanyanya dengan nada yang sangat datar sehingga aku tidak bisa mengartikan apa
maksudnya.
Oh,
aku tidak mengerti kenapa kami jadi berdebat mengenai warna. Mungkin warna dan
segala ronanya bukan masalah bagi pelukis seperti Tato. Setiap hari ia bergumul
dengan warna. Tetapi berbicara tentang warna selalu membuatku mulas. Rasanya
seperti sedang membicarakan warna bendera partai politik saja. Atau warna kaos
kampanye.
Aku
jadi teringat kepada seorang rahib Buddha Tantra dari Taiwan. Ia selalu
mengibarkan bendera panca warna: merah, biru, hijau, kuning dan putih secara
berjajar. Menurutnya, semua kuil-kuil di Taiwan, Tibet, Nepal dan sebagian
India, selalu mengibarkan bendera panca warna itu. Dari suara yang ditimbulkan
kelepak sayap bendera-bendera itu, kita bisa mendengar kabar berita yang dibawa
angin dari seluruh penjuru. Nah, bukankah sebenarnya banyak warna menjadikan
hidup lebih kaya?
”Bagaimana
kalau cokelat saja? Cokelat rasanya lebih nyaman,” akhirnya kupilih sebuah
warna sebelum mulasku menjadi-jadi. ”Cokelat warna kayu…”
”Juga
warna daun layu…,” potongnya.
Tetapi
kenapa tiba-tiba aku semakin merah?
Tato
Curah
dari langit semakin bertubi. Tetes-tetesnya seperti berlomba lari dari atap.
Kucoba untuk menerka apakah sebenarnya warna hujan? Bening? Lalu bagaimana
kebeningan itu harus kulukiskan ke atas kanvas?
”Sinar
mata Rafi bening sekali, Tato! Seperti bulan…” seru Lin. ”Rafi pernah menatapku
lama sekali. Aku juga menatapnya. Tahukah kau seperti apa rasanya? Aku seperti
dihujani cinta!”
Lalu
ia menyanyi dengan suara sumbangnya yang merusak telingaku. Aku ingin
menyuruhnya berhenti. Tetapi ternyata lagunya syahdu sekali.
Ni wen wo ai ni you duo shen
Wo ai ni you ji fen
Wo de qing ye zhen
Wo de ai ye zhen
Yue liang dai biao wo de xin
”Itu
lagu Teng Lie Chin, Yue Liang Dai Biao Wo De Xin,” ia menjelaskan tanpa kuminta
dengan pipi berhiaskan merah yang menjadi-jadi.
Apalagi
ketika ia mengatakan bahwa Rafi seperti Shah Rukh Khan, bintang film India
tersohor itu. Dan pujiannya meluncur deras seperti hujan ketika menceritakan
Shah Rukh Khan saat mem bintangi Kuch
Kuch Hotta Hai, Kabhi Kushi Kabhie Gham, Asokh sampai Devdas.
Olala,
aku tidak menyangka novelis seperti Lin ternyata penggemar film India. Dalam
hati, aku mulai bertanya-tanya, sebenarnya Lin sedang jatuh cinta kepada Rafi
atau Shah Rukh Khan?
Tetapi
kepada siapa pun ia jatuh cinta, rupanya Lin sedang membawa warna merah muda.
Lin
”Kau
gila!” kata Tato saat kukatakan bahwa diriku jatuh cinta kepada Rafi karena ia
secokelat Shah Rukh Khan. Menurutnya, aku lebih pantas menggilai Andy Lau, Chow
Yun Fa, atau Jet Lee saja.
Tetapi
begitulah kenyataannya.
Aku
hanya melihat warna cokelat ketika bersisian dengan Rafi. Ia meletakkan
lengannya di atas meja sehingga bisa kulihat dengan jelas kuku-kukunya yang
cemerlang. Bentuk siku lengannya indah sekali. Dan mataku langsung menyimpan
memori tentang warna kulitnya yang tampak seperti es krim cokelat. Begitu
menggiurkan.
Saat
itu juga kubayangkan bagaimana seandainya jika es krim cokelat yang kujilati
itu mencelomoti bibirku. Kira-kira apa yang akan dilakukan Rafi? Apakah ia akan
membersihkan celemotan di bibirku itu dengan bibirnya?
Aiiii…Tiba-tiba
kurasakan tubuhku terlempar tinggi. Aku berusaha menghentikan tubuhku yang
meluncur deras. Tetapi hujan adalah basah yang tidak bisa dicegah.
Kenapa
sekarang cokelat berubah menjadi merah? Awalnya merah muda, merah dadu,
lalu…bulan menghilang…
Ni wen wo ai ni you duo shen
Wo ai ni you ji fen
Wo de qing bu yi
Wo de qing bu yi
Wo de ai bu bian
Yue liang dai biao wo de xin
Tato
Lin
masih belum juga datang sementara hujan semakin deras. Mendadak aku cemas
ketika menyadari Lin sama sekali belum mengirim SMS. Apakah Lin tersesat karena
sinar bulan menghilang?
Lin
Merah.
Tato
Biji-biji
hujan tempias di lantai studio sampai menjadi genangan bercak. Aku terkejut
ketika ada butir-butir yang memerciki kanvasku sehingga melembab. Tetapi aku
yakin itu bukan karena pulasan kuasku. Angin kian menerbangkan basah.
Aku
seperti mendengar suara Lin, ”kalau jatuh cinta itu merah muda, lalu apa warna
patah hati?”
Aneh,
bukankah seharusnya yang kudengar adalah suara hujan?
Ah,
itu dia Lin!
Aku
melihatnya sedang berusaha menerabas hujan. Tetapi tetap saja tirai basah itu
tidak bisa ditembusnya. Ia menguakkan selapis tetapi sebelum ia keluar dari
sana, selapis yang lain sudah menimpanya lagi.
Tubuhnya
kuyup. Matanya sayup. Suaranya surup…
Ni wen wo ai ni you duo shen
Wo ai ni you ji fen
Ni qu xiang yi xiang
Ni qu kan yi kan
Yue liang dai biao wo de xin
”Patah
hati tidak pernah dilukiskan. Tidak ada yang suka mengalami patah hati. Eh,
siapa yang sedang patah hati?” sahutku sambil berusaha menerka kegilaan apalagi
yang akan didongengkan Lin.
”Aku,”
itu suara hujan atau suara Lin?
”Kau?”
aku kian meragukan pendengaranku. ”Kau tidak tampak seperti patah hati. Orang
patah hati tidak pernah memberikan pengumuman kalau ia sedang patah hati. Dan
hanya perempuan tidak tahu malu yang melakukan itu,” sahutku sambil berusaha
menyakinkan diri bahwa aku sedang berbicara dengan Lin.
”Itu
karena aku sudah profesional mengelola rasa patah hatiku. Sama profesionalnya
seperti ketika aku jatuh cinta,” jawabannya membuatku merasa cacat di otaknya
semakin sulit untuk disembuhkan.
”Patah
hati kepada siapa?”
”Rafi.”
”Shah
Rukh Khan itu?!” aku tersengat. Oh, Lin…
”Bagaimana
kalau patah hati dilukiskan dengan warna hijau?” Ia menyergah tanpa ada rona
merah lagi di pipinya. Aku melihatnya bergelombang. Ia ada di balik hujan rapat
yang disapu angin.
”Lin,
hijau itu untuk daun, untuk rumput, untuk padi, untuk kehidupan…”
Kucoba
mencolek sedikit warna hijau untuk menyempurnakan tetes-tetes air di atas
kanvas merah.
Untuk
Lin. Untuk Rafi. Untuk kehidupan.
Lin
Tato
tidak percaya ketika kuceritakan bahwa aku sedang patah hati. Ia bahkan tertawa
sambil memelintir rambut gondrongnya yang dikepang kecil-kecil. Ia gembira
seperti sedang mendengar kelanjutan novelku untuk memberikan sentuhan akhir
pada lukisannya.
”Rafi
mencampakkan diriku seperti sampah,” aku berusaha untuk tidak menangis di
hadapan Tato. Aku tidak mau ia melukis warna air mataku.
”Wah,
segitu amat? Memangnya kau dihamili Rafi?”
”Masalahnya,
justru aku belum dihamili Rafi! Seandainya aku sudah dihamilinya tentu ia tidak
akan setega itu,” tiba-tiba aku tersakiti ketika mengatakan hal itu.
Aku
mau mati saja.
Tato
Hijau.
Lin
Aku
tidak tahu sekarang terjebak di mana. Yang kutahu, sekujur diriku dibasahi
merah. Hei…apa itu yang sedang menetes?
Tato
Aku
seperti mendengar Lin sedang menceritakan sebuah episode baru tentang patah
hati. Rafi yang digilainya setengah mati itu membuangnya seperti ingus. Aku
senang mendengar bagian cerita ini. Setidaknya ini bukan cerita merah muda yang
berbunga-bunga lagi.
”Apakah
kau sudah yakin kalau sekarang Rafi tidak mencintaimu lagi? Atau dulu kau saja
yang terlalu yakin kalau Rafi mencintaimu?” Aku membutuhkan kepastian Lin untuk
menyelesaikan lukisanku. Bukankah sebuah novel pun harus mempunyai akhir?
Tetapi
Lin seperti tahu apa yang kupikirkan.
”Sebuah
cerita tidak harus diakhiri dengan titik. Sebuah cinta juga tidak harus
dipastikan seperti apa.”
”Kalau
begitu, kenapa Rafi meninggalkanmu?” mendadak aku ingin tahu. Bukankah semua
sebab selalu menimbulkan akibat. Dan segala akibat selalu didahului oleh sebab.
”Karena
Rafi menyamakan perasaanku seperti baju safari. Aku tidak menyangka ternyata ia
menghargai perasaanku semurah itu. Jadi sekarang ia sibuk mempertuhankan baju
safari dan mempersetankan diriku.”
Astaga!
Cerita gilanya yang mana lagi ini?
Aku
meyakini bahwa hidup memang penuh pilihan. Seperti aku memilih menjadi pelukis
dan Lin memilih menjadi pengarang. Lalu ada yang lain memilih jadi wali kota,
gubernur, menteri, presiden atau politisi. Itu pilihan yang sama terhormatnya
dengan memilih jadi guru, wartawan, pedagang kelontong, seniman atau petani.
Karena manusia harus memilih salah satu di antaranya. Kalau tidak, maka hidup
yang menentukan pilihan untuk manusia. Dan manusia harus sama-sama menangis
ketika merayakan kegagalan dan keberhasilannya. Kurasa karena alasan itu, Tuhan
menciptakan air mata untuk manusia.
Tetapi
bagaimana dengan pilihan-pilihan Lin?
Shah
Rukh Khan atau Rafi?
Baju
safari atau Lin?
Astaga…Pilihan-pilihan
model apa itu?
Terus
terang saja, aku tidak bisa menakar seberapa berharganya Rafi untuk Lin. Aku
juga tidak tahu di sekat sebelah mana Lin menyembunyikan Rafi. Tetapi Lin
meratapi Rafi seperti menangisi kecupan hujan untuk bangkai-bangkai bunga yang
akan membusuk hari ini. Lin membuatku teringat kata-kata pujangga lama, ”hujan
tercipta dari air mata cinta.” Andaikan saja Rafi mengerti jika air mata Lin
begitu mistis, apakah ia masih menyamakan Lin dengan baju safari yang juga
banyak digelar di pasar loak?
Uuuffff…
tetapi kupikir dalam episode ini ada baiknya juga jika Rafi melepeh Lin. Apa
yang bisa diharapkan Rafi dari perempuan yang tidak bisa bangun pagi itu? Tidak
ada. Dan aku tahu pasti kalau Lin tidak pandai membuat kopi. Lin cuma bisa
menjadi tukang dongeng sambil menggigiti tepi-tepi kukunya. Lin lebih
menyerupai tikus betina yang mengerikiti remah-remah makanan. Bukan karena ia
kelaparan. Melainkan karena takdir binatang pengerat seperti tikus adalah
mengerikiti.
Sssttt…
aku tidak sampai hati mengatakannya terus terang pada Lin. Sebab aku melihat
setetes sakit menggelinding dari matanya. Dengan cepat dihapusnya sebelum
sakit-sakit yang lain susul-menyusul rontok dari sana. Diam-diam, aku sempat
melihat apa warnanya.
Lin
Aku
ingin menyakinkan Tato bahwa yang kukatakan padanya adalah sebuah kejujuran.
Bukan sekadar cerita karanganku. Maka kukibaskan seluruh basahku sampai Tato
terkejut ketika melihat sebagian kanvasnya terciprati olehku.
Ada
bercak hijau di atas merah seperti hujan di atas ciuman.
Qing qing de yi ge wen
Yi jing da dong wo de xin
Shen shen de yi duan qing
Jiao wo si nian dao ru jin
”Lin…apakah
kita berpakaian atau tidak saat berciuman di bawah hujan?” Aku tak akan pernah
bisa melupakan suara Rafi. Suaranya kuingat baik dalam keadaan bangun, tidur,
atau mimpi. Karena kalaupun saat ini aku sekarat, hanya suara Rafi yang bisa
memanggilku hidup kembali.***
(Hidup bukan perjuangan menghadapi badai.
Tetapi bagaimana agar tetap bisa menari di tengah hujan.)